Setiap saya pergi kemana pun, mata saya tidak sulit menangkap kucing. Rasanya seperti ada radar yang tertanam dan memerintahkan kedua mata untuk memindai lingkungan sekitar. Well, sebenarnya tidak hanya kucing, mata saya menangkap gerakan binatang apapun sejauh mata memandang. Walaupun jarang, kadang saya melihat anjing, tupai, burung atau kelelawar, tidak luput juga kecoa dan tikus hehehe.
Waktu kecil saya punya seekor kucing jantan yang diberi nama Puski. Warna bulunya hitam dan putih dengan pola seperti tuxedo. Menurut Ibu saya, Puski adalah hibahan dari tetangga yang punya dua anak perempuan, yaitu Lisa dan Iyul, mereka adalah tetangga pindahan dari Bendungan Hilir. Seingat saya Puski tidak dikebiri ataupun divaksinasi. Puski mati ditemukan tergeletak di garasi tetangga. Kami menduga dia diracun atau tidak sengaja memakan racun tikus. Puski memang suka ‘nyolong’ ikan. Namanya juga kucing.
Setelah itu saya tidak ingat pernah memelihara kucing lagi hingga tahun 2004. Saat itu seekor kucing betina selalu datang ketika saya dan Ibu merapihkan pot-pot tanaman di depan rumah perumnas kami. Kami namai dia Ibu Ipus yang sangat suka bolu kukus dan lapis legit. Suatu saat Ibu Ipus hamil dan semakin sering berkunjung sampai akhirnya diterima menjadi bagian dari keluarga, diberi makan dan tinggal di dalam rumah.
Di malam kelahiran anak-anaknya, saya baru pulang kantor dan sedang duduk di ruang TV ketika Ibu Ipus datang mengeong dan mengajak saya untuk menemaninya melahirkan di bawah tangga. Jika saya pergi, dia akan kejar saya dan mengeong kembali sambil menggiring saya untuk kembali. Saya menyaksikan sendiri bagaimana tiga ekor anak kucing dilahirkan masih terbungkus selaput. Seingat saya Ibu Ipus kucing yang masih cukup muda, dan saat itu adalah pertama kali Ibu Ipus melahirkan. Ibu Ipus langsung memakan selaput yang membungkus anak-anaknya dan membersihkan mereka. Cukup cekatan sebagai seekor ibu baru.
Anak pertama Ibu Ipus berwarna kuning, kemudian abu-abu dan yang ketiga juga berwarna kuning. Usro, Unyil dan Ucrit, kami namai mereka. Sayangnya Ucrit tidak bertahan. Unyil berganti nama menjadi Tupai karena dia suka melompat seperti tupai. Setelah bertahun-tahun bersama kami, Tupai hilang dan tidak pernah kembali.
Usro masih bersama kami sampai sekarang. Menjadi Mbah Kucing di wilayah perumahan kami. Dia sudah sangat tua, ompong dan tidak kuat melompat ke atas kursi lagi. Usro sudah seperti anak saya sendiri, walaupun setengah liar dengan badan penuh luka, Usro akan tetap datang ke saya untuk minta disayang.
Setelah itu, kehidupan saya penuh dengan urusan kucing atau lebih tepatnya penyelamatan kucing. Saya selalu terenyuh melihat kucing atau anjing liar di jalanan, apalagi yang kurus dan terluka. Atau anak kucing kecil yang dibuang jauh terpisah dari ibunya. Rasanya saya ingin langsung bawa pulang dan menyelamatkan mereka. Sayangnya, sampai sekarang saya belum bisa melakukannya.
Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan apa yang saya bisa, yaitu memberi mereka makanan walau sekedar hanya sebagai pengganjal perut. Entah kapan saya memulainya, saya selalu menyediakan sekantung makanan kucing di dalam tas. Jika saya berpapasan dengan kucing liar, saya usahakan berhenti dan memberinya sedikit makanan.
Tidak semua orang setuju dengan yang saya lakukan dengan berbagai alasan. Mulai dari menyalahi hukum alam sampai buang-buang uang. Tidak apa, setiap orang berhak dengan pandangannya masing-masing, saya hargai pendapat mereka sejauh mereka tidak menyakiti kucing atau binatang lainnya.
Memberi makan kucing liar sedikit banyak menjadi hiburan buat saya. Saya dapat berbagi rejeki dengan kucing-kucing jalanan, kadang saya sayang-sayang dan ajak ngobrol – sebagai pelepas stress…hehehe, dan saya juga dapat kesempatan berkenalan dengan banyak orang khususnya pedagang kaki lima yang peduli dan ikut berbagi rejeki mengurus kucing-kucing jalanan tersebut.
Hidup di kota besar seperti Jakarta sering kali menyebabkan kita terperangkap di dalam gelembung kehidupan kita sendiri. Setiap hari keluar rumah naik kendaraan ke tempat kerja dan naik kendaraan lagi pulang ke rumah. Interaksi yang terjadi umumnya hanya di kantor dan sering kali penuh kepura-puraan. Kita tidak selalu mengenal dengan baik lingkungan yang kita lewati setiap hari. Mungkin kita lebih tahu lokasi mall atau cafe yang tidak kita lewati setiap hari.
Apakah kita pernah berhenti sejenak dan memperhatikan sekeliling kita? Kota Jakarta penuh dengan kompetisi (let’s talk about it next time!). Semua ingin cepat dan saling sikat. Kalau perlu menghalalkan segala cara untuk dapat masuk ke dalam angkutan umum, atau untuk menembus kemacetan. Semua ingin menjadi yang terdepan dan ingin berhasil memenangkan sebuah kompetisi, sebuah kompetisi yang kosong makna.
Ada siapa dan ada apa di sekiling kita? Apa yang mereka lakukan, apa yang mereka pikirkan dan mengapa mereka di sana? Apakah kita tahu jenis pohon apa yang kita lewati setiap hari? Di mana letak tempat sampah? Jawabannya: belum tentu kita tahu!
Akan tetapi, momen yang saya ambil untuk berhenti sejenak. Menjalin tali rasa dengan kerendahan hati dan menjadi diri saya sendiri, menyadarkan saya bahwa saya tidak hidup sendiri di dunia ini. Ada hal lain di sekeliling saya yang sarat dengan nilai kehidupan.
Dan, jalinan yang terbangun itu adalah sebuah jalinan yang otentik dan penuh rasa.
Ayo, kita menjalin rasa!
Leave a Reply