Pilihan


    August 28, 2016    Blog, Environment, Life    , , , , , ,

Saya selalu konsisten menyampaikan bahwa minat utama saya ada tiga, yaitu semua hal yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pendidikan dan budaya. Cukup luas bukan?

Sejak kecil minat saya tidak jauh dari ketiga hal di atas. Akhirnya semua aktivitas saya dan karir saya pun terbangun di berbagai bidang yang mengakar pada ketiga hal tadi. Ibu saya mungkin adalah orang yang bertanggung jawab memperkenalkan saya akan banyak hal ketika saya kecil dan sedikit banyak berpengaruh terhadap terbangunnya minat saya pada hal-hal tersebut. Terlebih karena beliau adalah pensiunan pegawai Dinas Perikanan DKI Jakarta, saya banyak diperkenalkan dengan budidaya ikan air tawar. Saya diajarkan bagaimana membudidayakan ikan air tawar, memeliharanya sampai dengan berbisnis jualan ikan hias dan perlengkapannya. Saya juga sering diajak ke lapangan, melihat petani ikan hias di wilayah perkotaan di Jakarta.

Akan tetapi, titik penentu ketika saya mulai memperkuat minat pada lingkungan hidup, pendidikan dan budaya adalah ketika saya mengikuti pertukaran pelajar di Tokyo selama satu tahun, dan langsung dilanjutkan menjadi relawan di Yayasan Bina Antarbudaya sekembalinya, sekitar tahun 1996-1997.

Di Tokyo, saya tinggal bersama keluarga angkat di kota kecil sekitar 40 km dari tengah kota, namanya Oume, dan bersekolah di daerah Kunitachi. Setiap hari saya jalan sekitar 30 menit dari rumah ke stasiun kereta, sampai akhirnya saya harus naik bus karena telapak kaki saya sakit akibat aktivitas ekstrakurikuler Kendo yang saya ikuti. Saya naik kereta jalur Chuo dari Stasiun Oume sampai Stasiun Kunitachi. Dari Stasiun Kunitachi saya kembali berjalan kaki sampai sekolah sekitar 15 menit. Jadi setiap hari saya melihat banyak hal. Di Oume, tidak banyak orang lalu lalang jadi saya lebih banyak memperhatikan landscape-nya, sedangkan di Kunitachi saya melihat banyak hal yang menggambarkan percampuran barat dan Jepang sepanjang jalan menuju ke sekolah.

Saya ingat, dulu saya pernah menyimpulkan bahwa di Tokyo itu, setiap jengkal ruang selalu diperhatikan, rapih tertata, bersih dan ada fungsinya. Sehingga tidak ada orang yang harus kesulitan berjalan atau bergerak di ruang publik. Tidak ada ruang yang dapat berpotensi membahayakan. Ah senangnya, serasa kita mendapatkan kehidupan yang layak sebagai manusia dan warga negara.

Kemudian setelah saya kembali dari Tokyo di awal tahun 1997, saya langsung aktif menjadi relawan di Yayasan Bina Antarbudaya, sebuah yayasan yang mengelola program pertukaran pelajar yang saya ikuti. Saya masih kelas dua SMA saat itu. Relawan berkesempatan menjadi panitia untuk berbagai program dan acara yang diadakan, mulai dari proses seleksi yang dimulai dengan kampanye ke sekolah-sekolah sebagai bagian program “sending” yang mencari mutiara hitam yang terpendam, sampai dengan program “hosting” yang mencari keluarga asuh dan mendampingi siswa asing tinggal dan bersekolah di Indonesia selama satu tahun.

Kesempatan menjadi relawan ini benar-benar membangun kepedulian saya akan sektor pendidikan di Indonesia. Saya bertemu dengan banyak pelajar berprestasi baik secara akademik maupun dalam hal kepemimpinan. Tujuan dari program pertukaran pelajar yang dikelola Yayasan Bina Antarbudaya adalah tidak hanya menciptakan perdamaian dunia melalui pemahaman antarbudaya, tetapi juga mencari calon-calon pemimpin bangsa yang mau membuat perubahan.

Saya ingin membuat perubahan dan mengambil peran. Berdasarkan kesimpulan yang saya ambil tentang ruang di Tokyo tadi saya tertarik memahami hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Kenapa di Tokyo setiap jengkal ruang diberikan perhatian, sedangkan di Jakarta, orang cenderung tidak peduli. Jalanan rusak, tidak ada trotoar, dan tidak ada jalur hijau. Semua hal ini membuat saya memilih lingkungan hidup. Oleh karena itu ketika memilih universitas, saya pun memilih di antara UGM Teknik Lingkungan dan IPB Arsitektur Lanskap. Dengan beberapa pertimbangan, bersama orang tua saya memutuskan untuk menerima tawaran PMDK dari IPB.

Saat menjadi mahasiswa Arsitektur Lanskap IPB, suatu hari saya mendampingi siswa SMA Jepang yang datang ke Indonesia untuk dua atau tiga minggu. Salah satu aktivitasnya adalah mengunjungi kantor UNESCO.  Kami mengunjungi seseorang yang mengepalai program Man and Biosphere. Pertemuan dengan staf UNESCO itu menambah keyakinan saya bahwa saya ingin berkarir di bidang lingkungan hidup.

Ketertarikan saya semakin pasti, apalagi ketika berpikir bahwa perubahan harus dimulai dari merubah pola pikir dan pendidikan adalah salah satu medianya. Oleh karena itu saya tertarik untuk mendalami pendidikan lingkungan hidup.

Setelah lulus dari IPB, saya mendapatkan kesempatan kerja di PEKA Foundation di Bogor. Saat itu, saya menjadi bagian dari tim pendidikan lingkungan. Saya banyak belajar dari senior saya, Mbak Elin. Pemikiran beliau yang progresif membuka mata saya akan banyak hal yang mungkin selama ini saya pelajari secara dogmatis. Ketika orang bicara ‘think out of the box’, Mbak Elin adalah orang yang selalu berfikir, sebenarnya tidak pernah ada kotak yang membatasi pemikiran kita.

Kemudian saya pun, berhasil mendapatkan beasiswa APS untuk program Master of Environment di The University of Melbourne. Di Melbourne lah, saya dilatih untuk berfikir kritis, untuk aktif terlibat dalam kegiatan civil society, citizen engagement dan community participation.

Saya juga mengenal istilah ‘trans-diciplinary’, bagaimana memahami masalah lingkungan hidup sebagai sebuah crosscutting issue. Ketika sebuah tim mencoba mencari solusi atas masalah lingkungan, sangat mungkin setiap anggota tim mewakili sektor yang berbeda, dengan perspektif yang berbeda pula. Maka setiap anggota tim diharapkan dapat memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk dapat duduk bersama dan bertukar pikiran serta menghormati perbedaan di dalam tim.

Saya bukan follower. Minat saya pada hal-hal terkait lingkungan hidup bukan muncul begitu saja, atau muncul karena dipicu COP13 di Bali pada tahun 2007. Saya tahu apa yang saya mau dan sadar akan kelebihan dan kekurangan diri. Saya punya pilihan dan saya ingin mengambil pilihan tersebut.

Cerita seperti di atas mungkin sering disebut juga ‘river of life’. Kita mengidentifikasi dan menceritakan kembali momentum ketika kita mengambil keputusan besar atau melakukan perubahan, yang berpengaruh terhadap kualitas diri dan hidup kita saat ini.

Silahkan coba “River of Life” dan jangan lupa share ya dengan saya!



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *