Beberapa kali saya terpikir kayaknya saya agak bisa memahami rasanya jadi Ahok. Bukan sebagai Gubernur, tetapi sebagai seseorang dengan gaya bicara lantang, lugas dan tegas.
Orang tidak menilai melalui karakternya secara utuh, tetapi lebih dari gaya bicaranya.
Karena umumnya orang Indonesia tidak konfrontasional atau tidak suka beradu argumentasi, mereka lebih menyukai gaya bicara yang tenang, santai atau bercanda.
Sehingga orang seperti saya atau Ahok, pada umumnya tidak disukai. Urusan gaya bicara jadi alasan utama untuk tidak menyukai kami dan membuat kesimpulan bahwa perilaku orang seperti kami ini kasar, bossy – suka ngatur, dan tidak sopan.
Tetapi lucunya saya pribadi tidak mendapatkan anggapan yang sama dari teman-teman saya yang orang asing. Mereka malah menilai saya sebagai seseorang yang assertive, direct, brave, vocal and engaging.
Kadang saya berlindung di balik fakta bahwa saya adalah turunan orang Medan, karena Bapak saya adalah orang Melayu dari Medan. Tidak sadar saya melakukan stereotyping bahwa orang Medan itu berperilaku seperti anggapan orang-orang terhadap saya.
Gaya bicara saya adalah identitas diri saya. Dengan sangat menggebu, saya akan berbicara mengenai hal yang saya yakini positif. Saya akan selalu bersemangat ketika berbicara mengenai keadilan, harapan, dan kebenaran. Saya juga menyukai kebebasan berpendapat.
Saya harus yakin untuk bersikap tegas karena artinya saya bersikap konsisten dengan apa yang saya yakini, untuk berbicara lugas karena saya bersikap jujur dengan orang lain, dan saya berbicara lantang karena artinya saya mengajak orang lain untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Leave a Reply